Perempuan dan Kemiskinan, Lingkaran domestik di dalam Lingkaran Kemiskinan


Pendahuluan

Kemiskinan adalah salah satu topik yang selalu laris untuk diangkat dalam diskusi, penelitian hingga propaganda. Kemiskinan di bagian dunia ketiga seperti tanda lahir yang melekat pada kulit, sulit dan tidak bisa dihilangkan. Berbagai kebijakan telah coba dilaksanakan untuk mengentaskan kemiskinan dari kehidupan masyarakat di belahan dunia ketiga, Indonesia salah satunya. Kemiskinan di Indonesia seperti layaknya “lingkaran setan”, tidak pernah berujung hanya terus berputar- putar, mengikuti siklus yang beragam dengan kuantitas yang bisa berkurang atau bertambah. Mayoritas penduduk miskin di dunia adalah kaum perempuan. Beberapa penelitian telah membandingkan standar hidup penduduk termiskin di berbagai negara berkembang, dan terungkap fakta bahwa hampir di semua tempat, yang paling menderita kemiskinan adalah kaum perempuan dan anak- anak. Mereka yang kekurangan gizi, paling sedikit mendapatkan pelayanan kesehatan, air bersih, sanitasi dan bentuk- bentuk jaminan sosial yang lainnya. Selain itu, akses wanita untuk mendapatkan pendidikan masih sangat terbatas, dan juga peluang- peluang untuk mendapatkan lapangan pekerjaan yang disediakan pemerintah maupun swasta. Paradigma masyarakat di dunia ketiga yang masih menyangsikan peranan perempuan dalam sektor publik turut menjadi hambatan bagi perempuan untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Lingkaran setan yang membelenggu perempuan dalam keterkungkungan sehingga tidak dapat memaksimalkan potensi dirinya menyebabkan semakin menguatnya lingkaran setan yang semakin membelenggu negera di dunia ketiga untuk bisa lepas dari kemiskinan.

Kemiskinan Absolut

Kemiskinan absolut adalah suatu kondisi dimana individu tidak mampu mendapatkan sumber daya yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar. Kemiskinan absolut dapat diukur dengan angka, mereka yang hidup di bawah tingkat pendapatan riil minimal di suatu negara dikategorikan miskin absolut. Namun, kemiskinan absolut tidak hanya dilihat dari satu dimensi saja-pendapatan-akan tetapi juga dari ukuran standar kesehatan minimum. Miskin berkebalikan dengan sejahtera, miskin berarti ketidakmampuan individu untuk mendapatkan sumber daya yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar, sejahtera adalah keadaan terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial sehingga individu dapat hidup dengan layak dan mampu mengembangkan dirinya. Itu artinya seseorang yang tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar material, spiritual dan sosialnya dengan cukup maka individu itu tidak dapat dikatakan hidup dengan layak dan sulit untuk mengembangkan diri.
Perempuan adalah aktor utama dalam cerita kemiskinan, karena berbicara masalah kemiskinan berarti berbicara masalah ketimpangan, berbicara masalah ketimpangan berarti berbicara masalah perempuan. Mari kita kupas satu per satu kebutuhan dasar material, spiritual dan sosial manusia. Kebutuhan dasar material yaitu: pangan, sandang dan papan. Untuk memperoleh ketiganya, manusia memerlukan uang atau pendapatan, pendapatan diperoleh dari pekerjaan yang menghasilkan penghasilan atau upah. Penghasilan perempuan pada umumnya tidak lebih tinggi daripada laki- laki hal ini ditunjukkan pada tabel 1 yang menunjukkan perbedaan upah bersih pekerja pada sektor pertanian menurut pulau dan jenis kelamin.
TABEL 1
Upah Bersih Pekerja Sektor Pertanian
Menurut Pulau dan Jenis Kelamin Tahun 2000
no
Pulau
Rata- Rata Upah Bersih Sebulan (RP)
Laki-laki
Perempuan
1
Sumatera
432.796
362.519
2
Jawa
222.629
174.102
3
Kalimantan
459.725
325.854
4
Sulawesi
380.627
311.976
5
Lainnya
277.25
217.522
Sumber: BPS (2001)
Dari data tersebut tercermin adanya ketimpangan pendapatan antara laki- laki dan perempuan pekerja sektor pertanian di pulau- pulau besar Indonesia. Pada pekerjaan formal maupun informal perempuan mendapatkan gaji yang berbeda untuk pekerjaan yang sama. Dalam hal ini perempuan memiliki kemampuan atau kapasitas yang lebih rendah untuk memenuhi kebutuhan dasarnya daripada laki- laki. Padahal beban kerja yang ditanggung perempuan lebih besar dari pada laki- laki, karena pada prakteknya perempuan yang bekerja di ruang publik juga melakukan pekerjaan domestik, sedangkan pekerjaan domestik tidak pernah menghasilkan upah. Perbedaan upah ini mengakibatkan perempuan menjadi kekurangan sumber dana untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Untuk mulai membangun usaha sendiri perempuan juga terhalang oleh minimnya modal yang dapat diakses. Kondisi ini semakin diperparah dengan rendahnya akses terhadap pendidikan dan pelatihan sehingga perempuan sulit untuk menigkatkan kapasitas dirinya. Status pendidikan perempuan yang lebih rendah merupakan salah satu penghalang perempuan mencapai posisi pengambil keputusan. Masyarakat masih memiliki asumsi bahwa investasi pendidikan untuk perempuan tidak menguntungkan. Karena, jika perempuan menikah akan menjadi ibu rumah tangga, melakukan pekerjaan domestik dan tidak bekerja di sektor publik. Hamish Mc. Rae dalam Budiono (1995) mengungkapkan bahwa terdapat keterkaitan antara perluasan kesempatan memperoleh pendidikan dengan peningkatan pendapatan per kapita. Berikut di tabel 2 ditunjukkan perkiraan penduduk usia sekolah Indonesia tahun 1995- 2020.



TABEL 2
Perkiraan Penduduk Usia Sekolah Indonesia
umur
1995
2000
2005
2010
2015
2020
Laki-laki





Total
38.672.438
39.603.204
39.467.093
38.082.946
37.692.795
36.650.381
7--12
13.553.839
12.700.675
13.057.974
12.577.747
12.174.918
11.834.787
13--15
7.059.308
6.571.391
6.397.329
6.490.766
6.231.526
6.072.761
16--18
6.564.075
7.158.668
6.173.490
6.532.957
6.390.057
6.102.570
19--24
11.495.216
13.172.470
13.838.300
12.481.458
12.896.293
12.640.264
perempuan






Total
37.046.711
36.671.004
37.710.680
36.505.818
36.182.943
35.109.210
7--12
12.865.501
12.155.330
12.547.533
12.050.985
11.642.771
11.307.199
13--15
6.684.411
6.245.430
6.136.788
6.236.150
5.970.890
5.808.574
16--18
6.209.132
6.787.236
5.879.405
6.293.812
6.136.122
5.845.570
19--24
11.287.667
12.483.008
13.146.953
11.924.871
12.433.161
12.147.866
Tahun 1995- 2020
Sumber: Ananta, Wongkaren, dan Cicih (1995)
Sedangkan kebutuhan sosial atau kebutuhan tersier dapat dipastikan tidak dapat terpenuhi karena kebutuhan- kebutuhan primer perempuan sebagai manusia tidak cukup terpenuhi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kemiskinan absolut lebih nyata dialami perempuan.

Lingkaran-ketergantungan ekonomi-setan

Gagasan bahwa perempuan lebih lemah daripada laki- laki terus dipertahankan dan disebarkan oleh pemikir- pemikir besar tentang wanita sepanjang sejarah. Sepeti yang disampaikan Fichte, “perempuan dikuasai karena itu merupakan keinginanannya- keinginan yang lahir dari moral perempuan itu sendiri- untuk dikuasi.”1 Beberapa pendapat lain, dari Theodor Reik, “perempuan pada umumnya ingin dicintai sebagaimana dia adanya, sedangkan laki- laki ingin disukai untuk apa yang diperbuatnya.” Benjamin Spock, “perempuan pada umumnya lebih sabar untuk mengerjakan pekerjaan yang diulang- ulang, pekerjaan yang tidak menarik…permpuan pada umumnya memiliki kepribadian yang lebih pasif…saya percaya bahwa perempuan dibentuk pada nalurinya yang terdalam untuk menjadi lebih berbahagia jika mereka tidak bersikap agresif- tidak hanya secara seksual, tapi juga dalam kehidupan sosial, dalam pekerjaan dan tugasnya sebagai ibu. Atau dengan kata lain, saya pikir kalau perempuan diberanikan untuk bersaing dalam kehidupan, mereka akan menjadi tidak menarik…secara biologis dan juga berdasarkan sifat-sifatnya, saya percaya bahwa perempuan diciptakan terutama untuk mengurusi anak- anak, suami dan rumah tangga.” Pendapat ini didukung oleh Bruno Bettelheim, “meskipun banyak perempuan ingin menjadi sarjana dan insinyur yang baik, pada dasarnya yang pertama dan yang terutama yang mereka ingini adalah menjadi teman laki- laki dan ibu dari anak- anaknya.”2 Dalam teori psikoanalisa yang banyak didukung para pemikir besar tadi mengungkapkan bahwa perempuan secara naluri dan kejiwaan lebih lemah dan lebih pasif daripada laki- laki yang cenderung lebih aktif, dan perempuan memiliki panggilan nurani untuk mengurus rumah tangga. Sehingga perempuan memiliki keyakinan bahwa pembagian kerja secara seksual yang terjadi di dalam rumah tangga maupun masyarakat merupakan “kodrat perempuan” itu sendiri, yang menyebabkan perempuan kurang aktif dibandingkan laki- laki, dan kurang memiliki keinginan untuk berkuasa karena keinginannya yang paling utama adalah menjadi istri dan seorang ibu.
Pendapat para psikoanalis tersebut ditentang oleh para fungsionalis, fungsionalis mengatakan bahwa pembagian kerja secara seksual merupakan kebutuhan masyarakat dan diciptakan untuk keuntungan masyarakat secara keseluruhan. Mereka memiliki teori bahwa perempuan harus tinggal di dalam lingkungan rumah tangga karena hal ini merupakan pengaturan yang paling baik dan berguna bagi keuntungan masyarakat secara keseluruhan. Talcot Parsons, tokoh dari aliran fungsionalis di Amerika Serikat, menambahkan kegunaan perempuan untuk mengerjakan pekerjaan- pekerjaan rumah tangga. Menurutnya, dengan pengaturan yang jelas bahwa perempuan harus bekerja di dalam rumah tangga, maka tidak ada kemungkinan terjadinya persaingan antara suami dan istri. Dengan pembagian kerja secara seksual ini, jelaslah bahwa sang suami mengembangkan karirnya di luar rumah, sang istri di dalam rumah. Istri boleh bekerja di luar rumah, tapi hendaknya itu bukan merupakan karirnya. Jika tidak, persaingan antara suami dan istri akan terjadi, dan ini akan merusak keserasian kehidupan perkawinan. Pembagian kerja secara seksual memperjelas fungsi suami dan istri dalam keluarga inti, dan ini memberikan rasa tenang bagi keduanya.3
Pendapat para fungsionalis mendapat kritikan oleh kaum Marxis. Teori fungsionalis beranggapan bahwa keserasian dalam masyarakat adalah sesuatu yang termiliki secara wajar. Keserasian atau harmoni itu berguna untuk masyarakat itu sendiri. Keluarga inti dengan pembagian kerja yang didasarkan pada perbedaan seksual merupakan tiang penopang bagi keserasian masyarakat tersebut. Jika demikian, menurut kau Marxis, para fungsionalis membuat manusia menjadi makhluk yang pasif, yang hanya sekedar menjadi alat dari sesuatu yang lebih besar dari dirinya, yaitu keserasian dalam masyarakat. Dalam hal ini kaum fungsionalis memiliki kesulitan untuk menjelaskan bagaimana sebuah masyarakat bisa berubah, jika semua tingkah laku manusia hanya merupakan alat dari keserasian masyarakat belaka. Menurut kaum Marxis, keserasian dalam masyarakat bukan merupakan sesuatu yang terberi namun buatan manusia. Kaum Marxis mengatakan, pembagian kerja secara seksual ini bisa bertahan lama bukan karena hal itu merupakan sesuatu yang wajar dan alamiah, namun karena laki- laki masih tetap berkuasa. Maka hal ini sedikit menjelaskan mengapa perempuan hingga saat ini masih saja hidup terpencil dalam rumah tangga.
Pada dasarnya pekerjaan perempuan dalam rumah tangga tidak memiliki nilai pasar, tidak memiliki nilai tukar, meskipun pekerjaan itu jelas bermanfaat. Pekerjaan yang dilakukan dalam rumah tangga dianggap pekerjaan “demi cinta” atau “pengabdian”, karena itu gratis dan dilakukan secara sukarela. Jikapun ada yang dibayar, harganya sangat murah jauh dari nilai pasar. Keluarga inti dengan pembagian kerja secara seksualnya adalah tempat dimana tenaga kerja dihasilkan, kemudian dipersembahkan secara hampir gratis kepada sistem kapitalisme dan perempuan adalah obyek utama yang menjadi korban, karena tugas perempuanlah yang harus mendidik anak- anak, mengurus suami dan rumah tangga, dengan mengesampingkan kepentingannya sendiri. Pekerjaan perempuan di dalam rumah tangga cenderung dilihat sebagai pekerjaan yang kurang berharga dibandingkan pekerjaan laki- laki di ruang publik yang menghasilkan uang. Dalam sistem kapitalis harga sosial seseorang cenderung untuk dihubungkan dengan kesanggupannya mencari uang, maka pekerjaan perempuan yang tidak memiliki nilai pasar membuat perempuan merasa dirinya tidak berharga dibandingkan laki- laki yang bisa mencari uang di pasar dengan menjual dirinya sebagai tenaga kerja. Perempuan kemudian menjadi tergantung bukan hanya secara ekonomis tapi juga secara psikologis. Banyak perempuan yang kemudian percaya bahwa perkawinan adalah tempat satu- satunya bagi mereka untuk menyelamatkan hidupnya, karena perkawinan dapat memecahkan masalah ketergantungan ekonomis dan psikologis mereka. Mekanisme ini kemudian menjadi semacam “lingkaran setan” di mana perempuan memiliki ketergantungan ekonomis terhadap laki- laki sehingga tidak dapat mengingkatkan kapasitas dirinya, dan hal ini kemampuan ekonomi untuk menghidupi diri sendiri. Bila hal ini berlangsung terus menerus secara agregat akan menyebabkan masyarakat semakin sulit untuk keluar dari “lingkaran iblis” kemiskinan . Pekerjaan perempuan tidak merupakan bagian dari sistem pasar, karena itu tidak memiliki nilai tukar, sehingga perempuan tidak memiliki kemandirian ekonomis dan selamanya akan bergantung pada keberadaan laki- laki sebagai penopang hidupnya. Di negara- negara dunia ketiga hal demikian menjadi lingkaran setan di dalam lingkaran setan kemiskinan negaranya.

Perempuan dan “Kriminal”

Prostitusi selalu dianggap sebagai tindakan kriminal khas perempuan. Pilihan menjadi pekerja seks disebabkan oleh banyak faktor. Salah satunya adalah karena tekanan ekonomi. Para pekerja seks adalah kelompok masyarakat yang tidak diuntungkan oleh pembangunan. Berdasarkan penelitian Koch, sebagaimana diungkapkan oleh Parsudi Suparlan, perempuan adalah komoditas dan ketika akses ekonomi tidak dia dapatkan maka jalan pintas yang dapat dilakukannya adalah menjual dirinya sendiri. Perempuan adalah komoditas untuk pasar kerja, baik sebagai tenaga kerja murah maupun sebagai komoditas hiburan.4 Belakangan ini seks telah memasuki “pasar raya”. Seks tidak hanya menjadi sarana reproduksi dan rekreasi, tetapi sudah menjadi komoditas. Seks telah menjadi semacam mall. Orang bisa membeli berbagai macam barang atau layanan sesuai dengan keinginan dan kemampuan finansialnya; mulai dari kelas lesehan di pinggir jalan, di lokalisasi, hingga hotel berbintang. Setiap tempat lokasi biasanya akan menarik yang lainnya untuk melakukan usaha- usaha ekonomis, seperti pedagang kaki lima, penjual keliling, dan kegiatan- kegiatan ekonomi yang lain, seperti makelar seks. Pekerja seks, pedagang kaki lima, dan pedagang jalanan adalah strategi mempertahankan hidup bagi golongan ekonomi lemah. Melalui transaksi ekonomi seperti inilah, penduduk miskin di kota- kota besar bisa bertahan di tengah geliat ekonomi kapitalistik yang semakin mencengkram.
Tabel 3
Distribusi Pekerja Seks di Jawa Timur
no
kota/kab
2001
2002
2003
2004
2005
2006
1
Surabaya
170
1510
1837
2514
615
915
2
Gresik
20
0
41
18
9
9
3
Sidoarjo
94
99
117
92
44
188
4
Jombang
157
72
138
126
77
42
5
Kota Mojokerto
253
218
205
215
224
253
6
Mojokerto
186
183
90
188
280
253
7
Bojonegoro
90
90
33
26
28
43
8
Lamongan
27
27
66
68
41
41
9
Tuban
87
83
380
124
252
283
10
Kota Madiun
175
10
0
0
0
0
11
Madiun
129
143
133
136
134
122
12
Ngawi
153
135
127
126
129
129
13
Magetan
101
101
134
139
133
125
14
Ponorogo
122
119
155
4797
135
140
15
Pacitan
0
16
2
17
95
95
16
Kota Kediri
86
68
84
93
53
93
17
Kediri
48
166
243
253
253
173
18
Kota Blitar
64
64
5
0
0
0
19
Blitar
270
240
376
302
292
245
20
Tulungagung
567
587
589
580
565
489
21
Nganjuk
387
380
593
633
662
562
22
Trenggalek
10
0
1
117
0
41
23
Kota Malang
182
117
173
169
145
156
24
Malang
271
74
88
0
36
86
25
Kota Pasuruan
65
44
49
25
12
12
26
Pasuruan
180
185
166
78
150
132
27
Kota Probolinggo
39
42
45
44
44
42
28
Probolinggo
32
32
61
341
274
354
29
Lumajang
101
48
278
229
183
256
30
Jember
613
570
616
503
406
231
31
Bondowoso
238
236
250
192
192
192
32
Situbondo
299
300
74
58
98
90
33
Banyuwangi
727
727
697
1027
727
608
34
Pamekasan
27
27
20
33
33
21
35
Sampang
0
0
4
4
2
2
36
Bangkalan
14
21
20
19
15
28
37
Sumenep
21
0
21
21
0
0

Jumlah
6065
6740
7913
13335
6428
6467